Tuesday, March 27, 2007

Human Scale City


Mengatasi masalah SOSIAL-LINGKUNGAN melalui ´City Scale´?...

Menarik -sekaligus menyentak- bagi saya, bahwa di kota Jakarta, sebagai metropolitan yang -konon khabarnya- tempat berkumpulnya ˝intelektual bangsa˝, ternyata sangat LAMBAN... Saya ulangi, SANGAT LAMBAN menyadari bahwa faktor ´Daya Dukung Kota´ adalah salah satu simpul rawan utama terjadinya kekisruhan alam-sosial, baik di kota itu sendiri, maupun disekitarnya. ..

Perhatikan kutipan-kutipan berikut, yang saya postingkan di milis Psi-Trans, thread Everything is a Deal, 22 Maret 2007:

Quote:
Tidak perlulah kita mencontoh dari mana mana... Kita bisa satu rumah, tapi tak harus berpakaian yang sama... ˝

Contoh pembangunan model Jakarta, menurut saya adalah contoh kegagalan, sekian banyak petuah petuah yang telah mengalir dengan pola terpusat, buktinya mereka di Jakarta NGGAK BECUS mengurus kota mereka, lalu apa yang mau kita contoh?...

Setiap kota itu punya DAYA DUKUNG administratif, populatif, ekologis, bisnis, dll. yang terbatas! Nah, apakah itu tidak dikatakan dalam ilmu planologi? Kalau tidak, wah planologi itu ´dogma´ juga jadinya... (Dalam Kopitalisme, fenomena tersebut diistilahkan dengan term ´ParaDogma´)

Kalau daya dukung sebuah kota ini kapasitasnya terlampaui maka, kekisruhan alam dan sosial di kota itu dan juga disekitarnya akan tunggu waktu saja... Semuanya ´rasional´ kok...

Yang perlu kita pikirkan adalah gimana itu membangun ´human scale city´ yang sinergis dengan perubahan berikut antisipasi ampas-ampas perubahan itu sendiri... Ini yang TIDAK DIMILIKI oleh Jakarta, ˝The Big Brother˝ itu... (By: PatanYali Factors)

(Dialog diatas saya ambil dari ketika masih menjadi salah satu anggota lembaga konsultatif pengembangan kota di Mks, hampir 6 tahun lalu: 2001)

Sehari kemudian, 23 Maret 2007, saya postingkan (mengcopy-paste dialog di atas) sekali lagi di milis Mediacare, dalam thread ˝Spiritual dan Perut Lapar˝.

Hari ini 26 Maret 2007, ada undangan online melalui milis-milis sebagai berikut:

Jakarta dan Kelelahan Daya Dukungnya:
Tata Ruang Dikalahkan Tata Uang

Kutipan:
Sebagaimana kita ketahui, sampai saat ini belum ada kebijakan publik dari pemerintah yang secara terbuka dan afirmatif merumuskan arah dan strategi pengembangan kota. Padahal di era liberalisasi ekonomi, kota adalah arena akselerasi transformasi sosial. Kebijakan pengembangan kota, dengan demikian, turut menentukan berhasil tidaknya Indonesia keluar dari krisis yang berkepanjangan. Sebuah kota mestinya menjalin keseimbangan fungsi-fungsi: ruang privat (hunian), ruang ekonomi, ruang publik (taman, lapangan, dll), dan ruang sakral (tempat beribadah, berziarah, dll). (Kian Tajbakhsh, 2001). Dalam tradisi Barat, kota dipandang identik dengan peradaban dan kota yang dirancang secara rasional menjadi tumpuan bagi tumbuhnya masyarakat modern. (Jerome Monnet, 2000). Namun metafor kota sebagai "tatanan sosial ideal" kini bukan hanya telah usang tetapi juga berbahaya apabila terus dianut dan diamini. Mengapa? Sebab yang terjadi kini, kota telah didominasi oleh hadirnya ruang-ruang komersial. Perkembangan kota kian didorong dan diarahkan oleh kepentingan sektor privat yang mendukung sistem pasar kapitalistis. Kepentingan sektor privat menentukan bentuk, fungsi, karakter fisik dan kehidupan di dalam kota. Dasar pengembangan kota hanyalah rancangan teknis dan ekonomis. Akibatnya, gambaran kota-kota di Indonesia, terutama Jakarta, dihadapkan pada problem serius menyangkut kemacetan, segregasi sosial, penurunan kualitas lingkungan - termasuk banjir, marjinalisasi masyarakat miskin, pemborosan energi yang berlebihan, gentrifikasi pusat-pusat kota, meningkatnya kekerasan (dalam bentuk kerusuhan, tawuran antar warga dan antar pelajar, kriminalitas) , dan lain-lain persoalan.

PatanYali Factors:
Apakah hal diatas sebuah ´kebetulan´?.. . Itulah peran ´meme, baca: mim (the virus of mind) Salah satu peran ´meme´ ini dipaparkan juga dalam blog ini dalam tulisan: DAS KOPIkenTAL: Tatacara Mentertawakan Diri 2.

Terlepas dari itu, bagaimana komponen masyarakat di kota Anda sendiri masing-masing, mensikapi kenyataan tersebut?

Dari mana memulai memikirkan pengembangan ˝Human Scale City˝ yang saya maksud di atas?...

Ada opini?

Bersambung

No comments: